Pihak pemerintah terus berdiskusi dengan Kejagung dan tidak akan merinci langkah apa saja yang akan ditempuh.
“Kita sedang dalam diskusi dengan Kejaksaan Agung langkah apa yang akan kita ambil. Saya tentu tidak akan berkomentar mengenai langkahnya. Tapi saat ini begitu posisinya,” jelas Rionald.
Untuk diketahui, sejak terjadi semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei 2006, pemerintah memberikan dana talangan untuk mengganti rugi bencana lumpur Lapindo.
Penggantian rugi lumpur Lapindo disepakati melalui perjanjian Pemberian Pinjaman Dana Antisipasi untuk Melunasi Pembelian Tanah dan Bangunan Warga Korban Luapan Lumpur Sidoarjo dalam Peta Area Terdampak 22 Maret 2007.
Pada saat itu perusahaan Bakrie memperoleh pinjaman Rp 781,68 miliar, namun utang yang ditarik dari pemerintah (dana talangan) sebesar Rp 773,8 miliar. Perjanjian pinjaman tersebut memiliki tenor 4 tahun dengan suku bunga 4,8%.
Sedangkan denda yang disepakati adalah 1/1.000 per hari dari nilai pinjaman. Kala perjanjian disepakati, Lapindo akan mencicil empat kali sehingga tidak perlu membayar denda atau lunas pada 2019 lalu.
Nyatanya hingga saat jatuh tempo, Lapindo baru mencicil satu kali dan besarannya hanya Rp 5 miliar dari total utang Rp 773,8 miliar tersebut.
Sampai saat ini belum ada pembayaran lanjutan sehingga utangnya makin bertambah karena denda terus berjalan.
Adapun pada 2015, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan para pengusaha yang merasa dirugikan dari dampak lumpur Lapindo.
MK mengeluarkan amar putusan nomor 3 tahun 2013 dan nomor 65 tahun 2015, yang menyatakan tidak ada perbedaan antara ganti rugi untuk pengusaha dan warga biasa yang sama-sama menjadi korban lumpur.
Berpegang pada putusan MK 2015 silam tersebut, menurut Fraksi PAN dan NasDem dalam rapat Banggar RAPBN 2023 yang berlangsung pada 21 September 2022 berpandangan, masyarakat seharusnya bisa mendapatkan ganti rugi dengan menggunakan uang dari negara, sama dengan yang di luar peta terdampak.
***