Islam adalah suatu ajaran yang meliputi banyak aspek dalam kehidupan. Jika kita melihat dan memperhatikan, hampir – kalau tidak mau dikatakan seluruhnya – semua sector kehidupan kita dicakupnya. Islam sudah mengatur dengan begitu apiknya kehidupan kita di dunia. Harun Nasution dalam salah satu karyanya yang bertajuk Islam ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid I dan II (Lih. Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspek Jilid I dan II) hendak memperlihatkan kepada kita akan keluasan wilayah kehidupan yang dicakup olehnya. Bahwa Islam tidak melulu hanya soal teologi. Banyak sekali lahan kajian yang harus kita pelajari dalam mengkaji apa itu Islam.
Bagaimanapun kita harus akui dengan jantan, bahwa setiap mendengar kata “Islam”, sebagian besar orang hanya akan memikirkan perihal ajaran-ajaran yang bersifat teologis: haram-halal-sunnah. Paling mentok, pembahasan tentang aliran-aliran dalam Islam adalah hal yang menjadi focus – walaupun di Indonesia hal ini sangat jarang, sebab mayoritas masyarakat Indonesia bermazhab Syafi’i dan acuh terhadap aliran yang lain.
Padahal, jika kita mau membicarakan Islam dengan komprehensif, bukan hanya hal-hal itu yang harus kita pelajari dan bahas. Islam seakan menjadi begitu sempit terlihat jika hanya diambil dari satu sisi. Jika sudah begitu, hanya satu yang akan dapatkan dari pemahaman semacam ini: kestatisan Islam (Nasution, 2016:114). Agama yang bersifat statis, ibarat manusia yang sedang menggali lubang kuburnya sendiri.
Dalam keadaan semacam tadi – memahami Islam dari satu sudut pandang (teologi) dan mengesampingkan sudut pandang yang lain (sejarah, kebudayaan, filsafat, tasawuf atau mistisisme Islam dan yang lainnya), akan menjadi begitu maklum jika Islam mengalami kemandekan. Saya kira, dari sekian banyak faktor, hal ini adalah salah satu diantaranya.
Dalam salah satu buku karya Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban di bagian pengantar dikatakan bahwa akan menjadi begitu aneh jika kita mengaku umat muslim namun tak tahu tentang sejarah yang mencerminkan diri kita dari tahun ke tahun (Madjid: 1992:xiii). Cak Nur menambahkan dalam lembaran-lembaran karyanya dengan pembahasan yang begitu sangat kompleks: Demitologisasi dalam Islam, Islam dan ilmu pengetahuan, Islam dan humanism, Islam dan pluralism dan masih banyak yang lainnya. Dia seakan hendak berkata bahwa masih banyak sisi yang jarang terlihat (shoot) dari agama Islam bahkan oleh kaum Muslim itu sendiri.
Selanjutnya, saya hendak menyelisik salah satu buku karangan Charles Kimball, salah seorang pendeta lulusan Harvard University, jurusan Perbandingan Agama, dengan spesialisasi studi Islam. Dia menulis dalam bukunya yang bertajuk When Religion Becomes Evil (yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Kala Agama Jadi Bencana), di bagian pengantar yang ditulis oleh Dr. Sindhunata (Pimred majalah BASIS), dia menyatakan bahwa menurut Kimball, setidaknya ada lima hal atau tanda (sign) yang dapat membuat agama menjadi busuk dan korup. Salah satunya adalah ketaatan buta terhadap pemimpin agama (Kimball, 2013:xvi).
Dalam Islam kita mengenalnya dengan fenomena taqlid. Fenomena ini menandakan hilangnya sikap skeptic dari para penganut agama, atau katakanlah dalam hal ini dari para kaum Muslim. Ketika sikap skeptic ini hilang, maka kesimpulan yang dapat kita ambil adalah bahwa kaum Muslim telah acuh terhadap agamanya sendiri seperti banyak menimpa kaum Muslim dewasa ini.
Pada bagian akhir tullisan ini, saya tertarik dengan terma yang dikemukakan oleh Mohammed Arkoun dalam salah satu karangan tulisannya: Silent Islam. Tulisan itu bertajuk Rethinking Islam (Kurzman, 2003:335). Saya rasa istilah Silent Islam atau “Islam yang diam” ini cocok untuk dimasukkan dalam tulisan ini. Sebab, istilah ini merujuk kepada Muslim yang lebih mementingkan aspek religious dan acuh terhadap aspek sosial atau politik.
Dalam lembaran awal karyanya, kita akan menemukan dia hendak menyindir kepada kaum Muslim yang hanya disibukkan dengan praktik-praktik ibadah dan mengesampingkan hal yang lain. Dia juga menceritakan kekecewaanya terhadap keringnya pemikiran-pemikiran intelektual Muslim saat itu sehingga dia menekankan adanya proses rethinking terhadap Islam. Dan proses ini akan tercapai menurutnya “melalui tim-tim dinamis yang terdiri dari para pemikir, penulis, seniman, sarjana, politisi, dan ekonom” (Kurzman, 2003:37).
Jadi, begitu banyak sektor dalam kehidupan ini yang sebetulnya haruslah Muslim isi. Saya rasa, beberapa pemikiran Arkoun disini masih sangat kompatibel untuk diaplikasikan dewasa ini. Islam yang sangat luas, akan menjadi tidak berkembang jika diselisik hanya dari satu titik. Dan memang, sejatinya Islam mempunyai sisi-sisi lain yang seharusnya kita juga lihat.
Selain luas, Islam juga sangatlah dinamis. Sebab hanya dengan sisinya yang dinamislah Islam dapat menjawab segala persoalan hidup manusia yang notabene juga bersifat dinamis. Jika kita menghendaki Islam yang dinamis dan memang seharusnya begitu, maka pembelajaran Islam dari berbagai sisi mutlak diperlukan. Inilah yang dimaksud Arkoun dengan proses rethinking. Karena hanya dengan itu Islam akan keluar dari lubang kemandekan (stagnan hole). (FNI)
Daftar Referensi
Kimball, Charles, When Religion Becomes Evil (Kala Agama Jadi Bencana), Bandung, Penerbit Mizan, 2003.
Kurzman, Charles, Liberal Islam: A Sourcebook (Wacana Islam Liberal), Jakarta, Paramadina, 2003.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I, Jakarta, UI-Press, 2016
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II, Jakarta, UI-Press, 2016
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1992.