Oleh: Bung Saja
Belum lama ini Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa terbarunya. Ya, mereka mengharamkan salah satu game bergenre survival, Player Unknown BattleGround namanya. Atau yang lebih akrab disebut PUBG. Adapun argumen yang dilontarkan mengenai pengharaman ini adalah karena mereka — pihak MUI menganggap salah satu peristiwa penembakan yang terjadi di New Zealand sedikit banyak dipengaruhi oleh game dimaksud. Sehingga, guna menjaga agar peristiwa serupa tidak terulang, MUI akhirnya mengharamkan game tersebut. Mungkin ada beberapa alasan lain, tetapi yang paling utama dan paling lantang di media, adalah alasan ini.
Tak ayal, fatwa ini menuai banyak pro dan kontra dari banyak kalangan. Salah satu alasannya tentu karena fatwa ini kontroversial. Banyak pihak yang menolak karena menganggap fatwa ini terkesan terburu-buru dan tidak berdasar, pun banyak pula yang menerima dengan berargumen bahwa game ini menganjurkan kekerasan sehingga pantas diharamkan.
Dalam situasi gonjang-ganjing seperti inilah diri penulis tertarik untuk mengomentari serta melihat perihal fatwa pengharaman PUBG ini dari beberapa sudut pandang. Dan karena alasan itu pulalah tulisan ini kemudian muncul.
Dasar Filosofis yang Kurang Mantap
Berangkat dari argumen bahwa game PUBG menganjurkan kekerasan bahkan mengilhami seseorang untuk melakukannya di dunia nyata, agaknya masih perlu dipertanyakan. Sebabnya adalah, tidak semua hal yang mengandung kekerasan itu menganjurkan kekerasan.
Contohnya begini, anime Tom and Jerry sarat sekali dengan kekerasan. Tetapi toh, bagi orang yang berakal, tidak mungkin melakukan hal itu di kehidupan nyata. Mereka tahu bahwa hal itu hanya sebatas hiburan semata. Kalau premis dasar dari pengharaman PUBG adalah demikian, maka niscaya banyak game yang akhirnya juga harus diharamkan. Misalnya seperti Mobile Legend, Fortnite, Point Blank, Basara, Free Fire, dan seabrek game lainnya.
Bahkan tidak hanya itu, banyak juga cabang olahraga yang nantinya juga harus diharamkan karena dianggap mengandung unsur kekerasan dan mendorong orang untuk melakukan kekerasan, seperti: tinju, beladiri, tarung bebas, dan yang lainnya. Bukankah kita aneh jika yang demikian benar terjadi?
Kalau pun benar game PUBG-lah yang menjadi pendorong si penembak di New Zealand untuk membantau umat Muslim yang ada di sana, hal ini juga perlu penelitian lebih jauh. Sampai sejauh mana game ini mengilhami si penembak? Apa benar game inilah yang harus disalahkan, atau justru sesat pikir si penembak? Apakah si penembak ini tidak ada gangguan psikis, atau dia sejak awal memang terganggu secara mental?
Penelitian semacam ini akan sangat berguna dalam menentukan fatwa atau sebuah keputusan. Selain untuk menghindari kesalahan, hal ini juga sangat membantu agar tidak mengeneralisir sebuah keputusan. Kita tentu akan mengernyitkan dahi jika ada pihak yang melarang orang memainkan musik gamelan karena di negara tertentu ada seseorang yang membunuh temannya dengan alat pemukul gamelan. Ini ‘kan keputusan aneh namanya.
Alasan lain yang lebih logis untuk digeneralisir adalah efek kecanduan. Hal ini dikarenakan dalam sebuah game, pemainnya akan merasakan efek senang karena tantangan-tantangan yang diberikan. Karenanya, mereka akan ketagihan untuk memainkannya lagi. Tetapi dalam konteks ini pun tidak bisa kita serta merta mengkambing hitamkan game tersebut. Tetap saja jika si pemain dapat menempatkan porsi bermainnya pada tempatnya, game adalah suatu hal yang menyenangkan, menghibur, bahkan banyak sekali gamers yang mendapat penghasilan dari sana.
Jadi lagi-lagi, fatwa ini masih banyak soal yang harus dijawab sebelum pada tahap ditetapkan.
Penelitian Dahulu, Haram-Halal Kemudian
Keputusan atau fatwa yang diambil oleh MUI ini, menurut penulis, sudah tentu harus dicross-check ulang. Sebabnya adalah seperti yang sudah disinggung di atas. Masih banyak faktor yang harus diteliti terlebih dahulu sebelum memberikan fatwa. Karena MUI, adalah institusi yang banyak pengaruhnya terhadap masyarakat. Sehingga keputusan yang diambil seharusnya bisa lebih mendalam dan tidak terburu-buru.
Upaya menelaah tentu harus melalui banyak kacamata. Misalnya seperti psikologi, atau disiplin ilmu lainnya yang nantinya tentu akan dipertemukan dengan nash-nash keagamaan (fiqh kalau dalam Islam). Hal ini akan sangat membantu kita untuk melihat fenomena-fenomena kontemporer serta sebab-sebabnya. Sehingga, keputusan yang nanti diambil pun bisa lebih tepat guna.
Dalam kasus ini, jujur saja penulis masih belum melihat hal itu. Artinya, kesan yang ditangkap seakan keputusan ini terburu-buru, kurang mendalam, kurang berdasar, dan cenderung mengeneralisir. Sehingga maklum banyak pihak yang menolak.
Dengan mempertanyakan fatwa dimaksud, tentu bukan berarti pro terhadap tindak kekerasan yang terjadi di New Zealand. Tentu sebagai manusia yang memegang erat nilai-nilai kemanusiaan, kita semua mengecam dan mengutuk perbuatan tersebut. Kita semua mengutuk segala bentuk rasisme, terorisme, sektarianisme, dan segala bentuk kekerasan lainnya. Baik yang fisik, maupun yang laten.
Tetapi pengharaman PUBG dan sikap menolak terhadap kekerasan adalah dua hal yang berbeda. Karenanya, di sini penulis katakan bahwa mereka yang mengkritisi fatwa pengharaman PUBG, bukan berarti menerima segala tindak kekerasan. Kekerasan tetap tidak punya tempat di belahan dunia ini!. (Bung)