Tasawuf dalam kacamata Islam dianggap sebagai salah satu cara mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa: Allah S.w.t. Tetapi dalam perjalanannya, tradisi ini dianggap – oleh beberapa golongan – tidak berakar pada tradisi Islam itu sendiri. Melainkan Islam mencaplok dari tradisi yang justru tidak Islamis. Apakah anggapan ini benar? Bagaimana argument golongan yang mengiyakan statement ini? Mari kita lihat lebih dekat.
Omid Safi, seorang Profesor Studi Keagamaan di University of North Carolina dan Co-Chair dari Grup Mistisisme Islam di American Academy of Religion, dalam sebuah karya pendeknya yang berjudul “Is Islamic Mysticism Really Islam?”, mencoba mengurai sebab-sebab statemen seperti di atas muncul. Yaitu dengan mengatakan bahwa, ada beberapa sebab yang membuat anggapan ini muncul dan berkembang. Salah satunya bermula pada hasil penelitian para orientalis.
Islam memiliki beberapa aspek. Salah satunya adalah tradisi tasawuf atau dikenal dengan mistisisme dalam Islam. Hal ini menjadi ladang penelitian para orientalis. Baik yang atas dasar ingin tahu, maupun yang memiliki maksud lain. Kristenisasi misalnya. Mereka mencoba menelisik bagaimana tradisi tasawuf ini mula-mula muncul dalam dunia Islam. Lalu mereka mencoba mencari sumber-sumber yang sekirannya dapat membantu mereka dalam mendekati objek mereka: Tasawuf Islam.
Annemarie Schimmel mengatakan bahwa sumber primer para orientalis dalam mendekati tradisi tasawuf Islam adalah syair-syair Persi yang notabene merupakan karya para sufi seperti misalnya Rumi. Sebagai bukti, A. Schimmel menjelaskan bagaimana syair yang pertama kali diterjemahkan, yaitu Al-Hafizh ke dalam bahasa Inggris dijadikan sebagai rujukan oleh beberapa orientalis dalam mempersepsikan dan memandang tasawuf Islam. Karena mereka mengenal tasawuf Islam versi syair Persi, bukan bersandar pada Al-Qur’an dan Hadits, hal ini mempengaruhi persepsi mereka yang bermacam-macam terhadap tasawuf Islam.
Selain faktor di atas, faktor lain yang juga mempengaruhi kesalah pahaman para orientalis dalam memahami tasawuf Islam yaitu kurangnya pemahaman tentang hakikat Islam sesungguhnya. Ditambah imej Islam yang pada abad ke-20 dipandang hina oleh dunia Barat. Kedua faktor ini menjadikan dunia Islam berikut tradisinya, dipandang dengan pandangan sinis. Mereka sudah kadung tidak yakin bahwa ajaran yang ada dalam agama Islam tidak mungkin melahirkan keindahan karya seperti yang telah ditulis oleh para sufi tadi. Paradigma inilah yang kemudian menjadi indikator terhadap kekeliruan dalam memahami tasawuf Islam.
Konsekuensi logis dari pendekatan-pendekatan orientalis di atas, menyebabkan banyak anggapan. Salah satunya adalah keyakinan bahwa tasawuf Islam sejatinya tidak berasal dari tradisi Islam. Melainkan dari tradisi Hindu, Buddha, Zoroaster, Kristen, neo-Platonisme dan juga Yahudi (Lihat: Omid Safi, “Is Islamic Mysticism Really Islam?”). Mereka menolak anggapan yang mengatakan bahwa tradisi tasawuf yang salah satunya adalah zuhud, telah dicontohkan oleh nabi terakhir umat Muslim, Muhammad S.a.w. Dengan dalih penelitian ilmiah, asumsi macam ini dianggap tak dapat diterima. Padahal penelitan mereka, jika kita mau lebih teliti, tidak bersandar pada sumber-sumber primer. Yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Tetapi lebih kepada syair Persi.
Jadi, anggapan sebagian orientalis yang mengatakan bahwa tasawuf Islam bukan berasal dari dunia Islam menjadi terbantahkan. Pengetahuan mereka yang minim tentang Islam dan sumber mereka yang tidak primer, adalah beberapa bukti bahwa penelitian yang mereka lakukan menjadi rancu dan tidak dapat sepenuhnya diterima. Penolakan ini juga bukan karena orientalis tidak Muslim, penekanannya adalah pada kebenaran dari sumber dan pengetahuan peneliti akan objek yang dikaji. (FNI)