Melihat 6 Pesona Desa Muntei di Kepulauan Mentawai, Desa Wisata Yang Meraih Posisi Pertama di ADWI 2023

Fajarpos.com Fajarpos.com
Desa Muntei di Kepulauan Mentawai

Fajarpos.com, Kepulauan Mentawai – Desa Wisata Muntei berhasil meraih posisi pertama dalam ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia 2023 (ADWI 2023) dalam kategori Daya Tarik Pengunjung, pada Minggu (27/8/2023)

Desa wisata Muntei terletak di Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.

Desa Muntei berhasil mengungguli pesaing-pesaingnya dalam nominasi, termasuk Desa Wisata Soinrat (Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku), Desa Wisata Botubarani (Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo), Desa Wisata Bukit Batu (Kabupaten Bengkalis, Riau), dan Desa Wisata Ramang-ramang (Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan).

Desa Muntei menjadi salah satu destinasi wisata yang menarik di Kecamatan Siberut Selatan. Selain keindahan alamnya, desa ini juga mempertahankan adat dan tradisi yang menarik bagi para pengunjung.

Apa pesona Desa Muntei yang berhasil menarik para wisatawan? Simak ulasannya berikut ini.

1. Tato tradisional Mentawai 

Bagi wisatawan yang mengunjungi Desa Muntei, mereka akan berkesempatan untuk menyaksikan proses pembuatan tato tradisional Mentawai. Dalam budaya masyarakat Mentawai, tato atau titi memiliki arti penting sebagai simbol hubungan yang erat antara mereka dan lingkungan sekitar. Informasi ini dapat ditemukan di website Jejaring Desa Wisata.

Seni tato yang dipraktikkan oleh masyarakat Mentawai memiliki karakteristik yang sangat tradisional. Sebagaimana dijelaskan oleh Kompas.com (9/4/2019), tinta yang digunakan untuk tato ini berasal dari arang kayu atau sisa pembakaran yang dihaluskan, lalu dicampur dengan perasan tebu.

Proses selanjutnya, duri atau jarum yang telah dicelupkan pada tinta tadi ditusukkan pada lapisan kulit, membentuk rupa-rupa motif. Tato adalah identitas sosial Suku Mentawai yang membedakan antara klan satu dengan lainnya.

2. Pengolahan sagu 

Sagu memang merupakan makanan pokok yang penting bagi masyarakat Mentawai, seperti yang tercatat di website Jejaring Desa Wisata.

Ketika mengunjungi Desa Muntei, para wisatawan memiliki kesempatan untuk melihat sendiri bagaimana proses pengolahan sagu dari pohon hingga menjadi makanan yang siap untuk dikonsumsi. Proses pengolahan sagu di Desa Muntei masih dilakukan secara tradisional mengandalkan tenaga manusia.

3. Makanan dari ulat sagu 

Masyarakat Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, mencari ulat sagu Selain sagu, masyarakat setempat juga memanfaatkan ulat sagu atau tamra sebagai bahan pangan. Ulat sagu tersebut bisa dijumpai di batang pohon sagu yang sudah membusuk.

Ulat sagu diyakini mengandung protein yang sangat tinggi, karena memiliki banya serat lemak. Bisanya, ulat sagu tersebut diolah dengan cara dibakar, direbus, atau dikonsumsi dalam keadaan mentah. 

4. Rumah adat 

Para wisatawan juga memiliki kesempatan untuk melihat dua rumah tradisional yang ada di Desa Muntei, yaitu rumah tradisional Suku Sakukuret dan rumah tradisional Suku Salakkopa.

Rumah tradisional Arleus Sakukuret pertama kali dibangun sekitar tahun 1970 ketika masyarakat pedalaman datang ke Desa Muntei dan membuka lahan.

Informasi ini dapat ditemukan di website resmi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud). Pada awalnya, rumah adat ini dihuni oleh sepuluh keluarga, namun saat ini hanya tinggal dua keluarga yang mendiaminya.

Rumah adat ini berbentuk persegi panjang, berupa rumah panggung dari kayu dilengkapi dengan kolong di bawahnya. Tiang-tiang penyangga terbuat dari kayu dengan pondasi dari semen.

Kolong-kolong rumah tersebut berfungsi sebagai tempat menyimpan kayu bakar dan hewan ternak babi. Tangga utama naik terletak di bagian depan dan terbuat dari batu yang disusun persegi.

5. Pakaian tradisional kabit 

Ketika berkunjung ke Desa Muntei, para wisatawan juga berkesempatan untuk melihat bagaimana proses pembuatan pakaian tradisional kabit. Pakaian adat ini merupakan ciri khas dari Suku Mentawai dan umumnya dipakai oleh para pria.

Pakaian kabit memiliki fungsi untuk melindungi bagian bawah tubuh. Pakaian tradisional ini dibuat dengan sederhana tanpa menggunakan jahitan benang.

Suku Mentawai yang hidup di Desa Muntei juga tidak mengenal teknik tenun, sehingga mereka memanfaatkan tumbuh-tumbuhan sebagai penutup tubuh. Adapun kabit,  terbuat dari kulit kayu cawat atau baiko dalam Bahasa Mentawai.

Sementara, kaum wanita menggunakan pelepah daun pisang untuk menutupi tubuh bagian bawah, dengan cara merangkainya mirip rok. Sedangkan, bagian atas menggunakan rumbia yang dirajut mirip baju.

6. Meracik panah beracun 

Salah satu aspek keseharian masyarakat Desa Muntei adalah kegiatan berburu. Yang unik adalah, mereka menggunakan panah yang telah diberi racun sebagai alat untuk berburu, sebagaimana yang dijelaskan dalam informasi yang ditemukan di website Jejaring Desa Wisata.

Masyarakat Desa Muntei memiliki kemampuan untuk membuat racun panah sendiri. Bahan-bahan yang digunakan untuk meracik racun panah tersebut meliputi cabai, batang raggi, akar laingik (tuba), kulit kayu lappak, dan bagglau (lengkuas).

Cara membuatnya dimulai dengan mengupas kulit kayu raggi menggunakan parang. Kemudian, kulitkayu raggi diparut halus, kemudian dicampurkan dengan ramuan lainnya dalam satu tempat.