Kanjuruhan terus mencari keadilan (Justice for Kanjuruhan). Melalui solidaritas suporter sepak bola nasional, Kanjuruhan terus meminta pertanggungjawaban PSSI atas tragedi kelam yang telah mengakibatkan 135 orang meninggal. Kini tragedi ini telah memasuki usia 100 hari. Tapi kita bisa menyaksikan bahwa tak kan ada rasa lelah untuk menyuarakan upaya mencari keadilan ini.
100 hari tragedi ini diserukan di beberapa tempat. Bukan hanya di Malang tapi juga di kota-kota lain. Persebaran dukungan ini menunjukkan bahwa adanya solidaritas nasional para suporter dan publik pecinta sepak bola dan seluruh masyarakat Indonesia. Selain itu, penyebaran dukungan ini juga menunjukkan betapa pentingnya tuntutan keadilan ini untuk korban dan untuk kebaikan sepak bola Indonesia ke depan.
100 Hari Kanjuruhan di Berbagai Kota
Momentum 100 Hari Kanjuruhan digelar di beberapa tempat. Acuan penanggalannya mengacu pada penanggalan Jawa dan Masehi. Pada penanggalan atau kalender Jawa, acara 100 hari Kanjuruhan sudah digelar pada 5 Januari 2023 dengan titik di Malang. Seperti gelaran acara do’a bersama yang dilakukan oleh para Aremania, korban, keluarga korban, warga Malang Raya serta ratusan jamaah Maiyah Malang Raya di depan pintu utama Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Kabupaten Malang (5/1/2023).
Adapun mengacu pada kalender Masehi, acara 100 hari jatuh pada 8 Januari 2023. Pada tanggal ini, ada beberapa titik lokasi yang akan menjadi tempat gelaran acara memperingati 100 hari Kanjuruhan. Para Aremania berencana menggelar 100 hari Kanjuruhan yang akan dilakukan di kantor Klub (8/1/2023). Tak jauh beda dengan acara 100 hari Kanjuruhan menurut kalender Jawa, acara ini juga untuk memperingati 100 hari dalam rangka mencari keadilan untuk korban.
Di luar Malang, tragedi 100 hari Kanjuruhan juga akan digelar di beberapa tempat seperti acara Salam Satu Jiwa (doa bersama dan konser amal) yang akan digelar di Gladiator Arena Bekasi pada Minggu (8/1/2023). Momentum ini semoga semakin memperkuat kesadaran nasional pentingnya persaudaraan antar suporter dan terutama sebuah langkah bersama untuk menuntut komitmen dan keseriusan PSSI untuk bertanggung jawab dalam kasus ini.
Di Mana Tanggung Jawab PSSI?
100 hari Kanjuruhan yang diselenggarakan oleh solidaritas suporter Indonesia di beberapa titik juga sebagai wujud komitmen bersama untuk menuntut pertanggungjawaban PSSI. Di mata kita supertor nasional, persoalan tragedi sudah jelas dan terang persoalannya, terutama dengan didukung temuan dari TGIPF dan Komnas HAM.
Yang paling jelas dari temuan itu, PSSI dianggap melakukan pengabaian atas prinsip pengamanan dan keamanan di dalam pergelaran sepak bola Indonesia termasuk yang terjadi pada pertandingan Arema melawan Persebaya di Kanjuruhan. Setidaknya pengabaian prinsip keamanan dan pengamanan itu tercakup dalam tiga hal. Pertama, terkait koordinasi dengan pihak pengamanan yang di dalamnya mengabaikan protokol pengamanan standar FIFA. Termasuk penggunaan gas air mata yang dilarang FIFA.
Kedua, koordinasi dengan panitia penyelenggara dan PT. LIB yang menyelenggarakan pertandingan di malam hari. Padahal, pertandingan di siang hari atau sore hari jauh relatif lebih baik untuk pengamanan. Apalagi kita tahu bahwa pertandingan antara Arema vs Persebaya adalah rivalitas yang sangat panas, atau termasuk pertandingan dengan status ‘high risk’.
Ketiga, pengabaian terhadap peninjauan kelayakan stadion dan berbagai fasilitas lainnya. TGIPF menyebutkan bahwa stadion Kanjuruhan Malang tidak layak untuk menggelar pertandingan dengan status ‘high risk’, risiko tinggi. Ini diabaikan oleh PSSI. PSSI juga tidak menyediakan mitigasi yang serius di dalam menghadapi pertandingan ‘high risk’.