Jakarta, FAJARPOS.com – Menanggapi rupiah yang kian anjlok, ahli ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menganggap rupiah di ambang batas Rp 15.000 per dollar Amerika Serikat. Hal ini, menurutnya merupakan titik psikologis yang berbahaya terhadap parusahaan. Dengan asumsi ini, dia sangat yakin dan memang perlu diadakan intervensi terhadap pasar sekunder oleh pihak Bank Indonesia.
“Bank Indonesia tidak akan membiarkan rupiah terus melemah diambang batas 15.000 level psikologis yang bahaya buat keuangan perusahaan,” kata Bhima pada salah satu kesempatan, Selasa (4/9/2018).
Menurutnya, Bank Indonesia akan melakukan intervensi di pasar valas dan surat berharga negara (SBN) sekitar Rp 3,5-5 triliun. Hal ini dimaksudkan untuk mengendalikan supply valas.
Bahaya anjloknya rupiah ini, menurut Bhima, tidak hanya berhenti di situ. Bahaya, karena menurutnya perusahaan juga menanggung transmisi resiko ke gagal bayar utang swasta.
“Tidak semua swasta melakukan lindung nilai atau hedging,” tuturnya.
Logika sederhananya, kata Bhima, jika biaya pinjaman jatuh tempo utang dolarnya semakin mahal, hal ini akan menyulitkan swasta untuk melunasi utangnya. Masalah ini akan menembus sektor perbankan dengan kenaikan kredit macet.
Lalu transmisi resiko yang kedua, lanjut Bhima, yaitu terletak pada resiko biaya bahan baku dan biaya logistik industri yang kian mahal.
“Banyak industri yang bergantung pada impor. Misalnya 90 persen bahan baku farmasi diambil dari impor maka tekanannya besar sekali. Sedangkan untuk menaikkan harga jual, konsumsi lambat akhirnya omset turun. Serba salah kalau sudah Rp 15.000,” ucap Bhima. (FNI)