Kemendagri Akan Beri Saksi Kepada Setiap Pemda Yang Tidak Siapkan Anggran Dana Pilkada 2024

Fajarpos.com Fajarpos.com
Kemendagri

Fajarpos.com, Jakarta – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah menyiapkan sanksi bagi pemerintah daerah yang tidak menganggarkan biaya Pilkada 2024 sesuai ketentuan.

Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri, Agus Fatoni, menyatakan bahwa surat edaran mengenai sanksi tersebut telah diterbitkan pada hari ini.

Sanksi tersebut mungkin mencakup tindakan administratif atau perubahan status bagi pemerintah daerah yang tidak memenuhi kewajiban anggaran untuk Pilkada 2024 sesuai peraturan yang berlaku. Hal ini bertujuan untuk memastikan kelancaran pelaksanaan pemilihan kepala daerah di tahun tersebut.

“Bapak Mendagri baru saja mengeluarkan surat edaran kepada seluruh gubernur, bupati, dan wali kota agar daerah wajib menganggarkan dana pilkada 40 persen tahun ini, 60 persen tahun depan,” kata Fatoni pada Jumat (29/9/2023).

“Bagi daerah yang tidak menganggarkan tentu akan diberikan sanksi. Bagi yang menganggarkan tentu akan diberikan apresiasi,” kata dia.

Menurut dia, isi surat edaran itu menekankan agar gubernur melakukan evaluasi pada APBD ataupun APBD perubahan.

Daerah yang tidak menganggarkan cukup untuk pilkada akan diberikan catatan pada evaluasinya dan catatan itu wajib diikuti.

“Fungsi kontrol di gubernur untuk kabupaten/kota. Fungsi kontrol (pilkada) provinsi ada di Kemendagri. Kami di Kemendagri akan mengawasi itu secara keseluruhan baik provinsi/kabupaten/kota,” ujar Fatoni.

Berdasarkan mekanisme yang diatur Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 54 Tahun 2019 dan Nomor 41 Tahun 2020, penyusunan pendanaan hibah untuk pelaksanaan pilkada tak lagi melalui review KPU RI, melainkan langsung antara KPU dengan pemerintah daerah setempat. Batas waktu kesepakatan NPHD maksimal 5 Desember 2023.

Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian mengatur bahwa dana hibah daerah yang disepakati untuk Pilkada 2024 wajib dianggarkan pada tahun anggaran 2023 sebanyak 40 persen dan 60 persen pada tahun anggaran 2024.

Pencairan anggaran tersebut dilakukan langsung ke rekening KPU dan Bawaslu daerah dengan dua mekanisme.

Mekanisme pertama adalah pencairan sekaligus (100 persen), maksimal 14 hari setelah penandatanganan NPHD.

Mekanisme kedua adalah pencairan bertahap, yakni 40 persen di tahap pertama (maksimum 14 hari setelah penandatanganan NPHD) dan 60 persen di tahap kedua (maksimum 5 bulan sebelum pemungutan suara).

Jika bersisa, dana hibah ini harus dikembalikan ke kas daerah maksimum 3 bulan sejak pengusulan pengesahan pengangkatan calon kepala daerah terpilih.

Kemendagri menyatakan, 44 persen pemda sudah meneken Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) dengan lembaga penyelenggara pemilu untuk pelaksanaan Pilkada 2024.

“Ada 243 daerah yang sudah NPHD dan itu pasti akan bertambah setelah APBD perubahan,” kata Fatoni.

“Karena kan sekarang sedang (proses penyusunan rancangan) APBD perubahan. Rata-rata daerah itu menganggarkannya (biaya pilkada) di APBD perubahan,” ujar dia.

Ia menyampaikan, anggaran yang dibahas pada APBD-Perubahan ini sudah merupakan hasil usulan dan pembahasan bersama KPU dan Bawaslu setempat.

Jika di masa depan ada kebutuhan biaya tambahan sebagai dampak dari percepatan Pilkada 2024 ke bulan September, pemerintah daerah dapat membahas kembali dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk mencantumkan addendum dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD).

Dengan adanya addendum, perubahan-perubahan dalam anggaran dan mekanisme pendanaan dapat dicantumkan dan disetujui oleh kedua belah pihak.

Agus Fatoni berharap bahwa seluruh wilayah yang akan melaksanakan Pilkada 2024 telah menganggarkan setidaknya 40 persen dari biaya Pilkada melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan tahun 2023.

Hal ini penting untuk memastikan ketersediaan dana yang cukup guna mendukung pelaksanaan Pilkada dengan lancar.

Dari sisi KPU sebagai penyelenggara utama, biaya yang dibutuhkan untuk menghelat Pilkada 2024 di 545 provinsi dan kabupaten/kota mencapai mencapai Rp 35,8 triliun, atau tepatnya Rp 35.817.670. 991.000.