Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menjadi sorotan publik terkait putusan yang mengabulkan gugatan uji materiil batas usia minimum sebagai capres-cawapres dalam perkara 90/PUU-XXI/2023. Putusan ini memungkinkan capres dan cawapres di bawah usia 40 tahun boleh maju asalkan berpengalaman sebagai kepala daerah.
Putusan MK ini menuai pro dan kontra di masyarakat. Beberapa pihak menilai putusan ini tidak sesuai dengan semangat konstitusi dan berpotensi menguntungkan calon tertentu. Bahkan, ada yang menduga adanya KKN di balik putusan MK ini.
Salah satunya adalah Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang melaporkan Ketua MK Anwar Usman ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan KKN pada Senin (23/10/2023).
TPDI menuding Anwar Usman telah melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.
Ketua Umum DPP Nasional Corruption Watch (NCW) Hanifa Sutrisna pun menilai MK kian keluar dari esensi yang semestinya menjalankan keberimbangan antara pembuat undang-undang yakni eksekutif dan legislatif. Dan eksistensi MK sesungguhnya merupakan penjaga gawang konstitusi.
“Kami di Dewan Pimpinan Pusat Nasional Coruption Watch (DPP NCW) melihat MK makin keluar dari esensinya yang semestinya menjalankan check and balances pada kekuasaan pembuat undang-undang yakni eksekutif dan legislatif,” kata Hanifa, Rabu (25/10/2023).
Selain itu, MK juga menerima 10 laporan masyarakat yang mempertanyakan putusan tersebut. Laporan-laporan ini antara lain berasal dari Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai NasDem, Partai Perindo, Partai Berkarya, dan Partai Garuda.
Menanggapi polemik ini, MK membentuk Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang diisi oleh mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, Prof Bintan Saragih, dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams. MKMK bertugas untuk memeriksa dan mengadili laporan, termasuk temuan dugaan pelanggaran yang dilakukan hakim konstitusi⁵.
Sementara itu, Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra menyarankan pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret untuk mengakhiri polemik tersebut.
“Menyimak polemik pro dan kontra terhadap putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 beserta implikasinya terhadap Pilpres 2024, saya memandang perlu menyarankan kepada pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret untuk mengakhiri polemik tersebut,” kata Yusril dalam cuitannya di akun X seperti dilihat, Selasa (24/10/2023).
Yusril mengkhawatirkan polemik ini akan berdampak pada legitimasi hasil pilpres 2024 jika dibiarkan berlarut-larut.
“Penyelenggaraan pilpres memerlukan adanya keadilan dan kepastian hukum. Jangan polemik dibiarkan berlarut-larut yang dapat membawa implikasi pada legitimasi pilpres dan hasilnya nanti,” ujarnya.
“Saya sendiri sedang memikirkan penyelesaian seperti apa yang paling bijak untuk mengakhiri polemik tersebut agar tidak berkepanjangan,” imbuhnya.