Inggris Belajar dari Tragedi Heysel, Indonesia dari Tragedi Kanjuruhan?

Fajarpos.com
Foto: Kompas.com

Salah satu rekomendasi FIFA terhadap PSSI pasca tragedi Kanjuruhan adalah bagaimana melakukan evaluasi terhadap fasilitas stadion dan pembenahan demi menghadirkan keamanan dan kenyamanan bagi para pemain dan suporter. Tragedi Kanjuruhan sendiri menunjukkan bahwa PSSI memiliki pekerjaan besar terkait ‘risk management’ dalam pertandingan, yakni mitigasi untuk mengatasi hal-hal yang tidak diinginkan.

Sebab itu, sebagai bagian dari revolusi atau pembenahan besar-besaran untuk menghadirkan keamanan dan kenyamanan, tidak cukup PSSI sekedar membenahi fasilitas stadion secara fisik, tapi yang tak kalah penting adalah pembenahan dalam konteks risk management supaya tragedi Kanjuruhan atau tragedi-tragedi lainnya seperti bentrok antar suporter bisa diminimalisir dampaknya. Indonesia bukan satu-satunya yang mengalami tragedi sepak bola. Tapi persoalannya sejauhmana komitmen federasi sepak bola kita, PSSI, di dalam membenahi masalah ini?

Tragedi Heysel

Inggris pernah menjadi negara yang – bahkan satu-satunya – mendapatkan larangan mengirim klub di turnamen internasional. Hal ini sebagai akibat dari tragedi Heysel atau pun Hillsborough yang menewaskan 39 suporter – pada akhir dekade 1980-an. Larangan itu bahkan bertahan kurang lebih lima tahun, yakni dari 1985 hingga 1990.

Tapi dengan peristiwa itu, Inggris pun merespons dengan pembenahan yang tujuannya supaya tidak terulang tragedi tersebut. Di antaranya meliputi: perbaikan pengamanan stadion, perlakuan terhadap suporter, hingga pembuatan regulasi baru untuk pendukung sepakbola dilakukan sebagai upaya mengikis keberadaan hooligan. Tidak hanya itu, Social Issues Research Centre (SIRC) juga melaporkan bahwa untuk menekan potensi bentrok antar suporter, aparat keamanan melakukan penyusupan ke barisan suporter klub demi menangkap provokator kerusuhan.

Metode penyusupan ke tengah-tengah suporter efektif sehingga provokator mudah tertangkap dan kerusuhan antar suporter mengalami penurunan. Bahkan sebelum akhirnya tugas pengamanan ditangani oleh steward, ada serangkaian upaya untuk pengamanan yang ketat. Suporter tuan rumah dan tamu dipisahkan, ada jalur khusus bagi suporter tamu sehingga terhindar dari suporter tuan rumah, dan adanya pagar pemisah antar mereka. Sampai akhirnya para suporter wajib memiliki identitas untuk mencegah adanya provokasi.

Tragedi Kanjuruhan

Dalam salah satu pernyataannya (12/10/2022), Menpora Zainuddin Amali menegaskan akan menjalankan rekomendasi FIFA terkait transformasi sepak bola, yang meliputi pembenahan atas stadion sepak bola. Rencananya, dalam audit atas stadion (baik klub liga 1, 2 dan 3), Kemenpora akan menggandeng Kementerian PUPR. Selain pembenahan stadion, Kemenpora juga akan membenahi protokol pengamanan sesuai dengan regulasi FIFA.

Poin-poin yang disampaikan Menpora patut didukung. Tapi tentu saja upaya pemerintah ini harus didukung dari internal PSSI sendiri sebagai induk organisasi. Dalam hal ini, maka KLB PSSI harus menjadi momentum untuk masuknya orang-orang yang punya komitmen untuk transformasi sepak bola. Apabila PSSI dan pemerintah mampu menjalankan rekomendasi FIFA – atau paling tidak seperti disampaikan oleh Kemenpora di atas, melalui audit stadion dan pembenahan protokol pengamanan, maka kita punya harapan untuk terwujudnya sepak bola yang lebih baik.

Kita berharap PSSI dan pemerintah bisa mengambil pelajaran penting dari peristiwa Kanjuruhan ini. Tapi yang tak kalah penting, PSSI mesti bertanggung jawab atas tragedi itu. Perbaikan ke depan harus diawali dari tanggung jawab atas kesalahan di masa lalu. Spanduk yang membentang pada saat timnas Indonesia melawan Kamboja kemarin, “Mereka bukan Meninggal tapi Dibunuh” adalah satu peringatan atau alarm bahwa pihak-pihak yang bersalah dalam peristiwa itu harus diusut.