Kerry Andrianto Riza, Dimas Werhaspati, dan Gading Ramadhan Joedo Berperan Broker dalam Kasus Korupsi Impor Minyak Mentah

Fajarpos.com
Tersangka kasus impor minyak mentah

JAKARTA – Ada tiga pihak swasta yang turut ditetapkan jadi tersangka dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah, dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero) periode 2018-2023.

Mereka adalah Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR), selaku Beneficialy Owner PT Navigator Khatulistiwa.

Lalu Dimas Werhaspati, (DW) selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim.

Terakhir Gading Ramadhan Joedo (GRJ), selaku Komisaris PT Jengga Maritim dan Direktur PT Orbit Terminal Merak.

“Tersangka SDS, AP, RS, dan YF bersama dengan demut atau broker yaitu tersangka MK, DW, dan GRJ,” kata Direktur Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Abdul  Qohar, Senin malam.

Kasus ini berawal dari pemenuhan pasokan minyak mentah dalam negeri, yang wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri.

Abdul Qohar mengatakan Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri, sebelum merencanakan impor. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan di Dalam Negeri.

“Namun berdasarkan fakta penyidikan yang didapat, tersangka RS, SDS, dan AP melakukan pengondisian dalam Rapat Optimalisasi Hilir atau OH yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang, sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya,” kata Qohar.

Akibatnya, pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor. Qohar mengatakan saat produksi kilang minyak sengaja diturunkan, maka produksi minyak mentah dalam negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sengaja ditolak dengan berbagai fakta.

Pertama, produksi minyak mentah oleh KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan oleh KKKS masih masuk range harga atau harga perkiraan sendiri (HPS). Kedua, produksi minyak mentah KKKS ditolak dengan alasan spesifikasi tidak sesuai dengan spek.

“Namun faktanya minyak mentah bagian negara masih sesuai dengan spek kilang dan dapat diolah atau dihilangkan kadar merkuri atau sulfurnya,” ungkap Qohar.

Qohar menyebut atas tindakan itu kerja sama antara pemerintah dengan pihak KKKS untuk kerja pelaksanaan ini terbagi. Ada bagian minyak yang sebagian bagian KKKS dan sebagian bagian negara atau Pertamina. Namun, kualitasnya sama berdasarkan presentase yang disepakati.

Penolakan itu lah menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan ekspor. Kemudian, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang.

“Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang sangat tinggi atau berbeda harga yang sangat signifikan,” ucap Qohar.

Qohar menerangkan saat KKKS mengekspor bagian minyaknya karena tidak dibeli oleh PT Pertamina, maka pada saat yang sama PT Pertamina mengimpor minyak mentah dan produk kilang. Selanjutnya, untuk kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga diperoleh fakta adanya perbuatan jahat atau mens rea antara penyelenggaraa negara.

“Yaitu tersangka SDS, AP, RS, dan YF bersama dengan demut atau broker yaitu tersangka MK, DW, dan GRJ,” kata Qohar.

Para tersangka melakukan kesepakatan harga bertujuan untuk mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara. Permufakatan tersebut diwujudkan dengan adanya tindakan atau actus reus pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang.

“Sehingga, seolah-olah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dengan cara mengkondisikan pemenangan DMUT atau broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi melalui spot yang tidak memenuhi persyaratan,” katanya.

Qohar membeberkan cara-cara kotor para pelaku. Tersangka RS, SDS, dan AP memenangkan demut atau broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum.

Kemudian, tersangka DW dan GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP, untuk dapat memperoleh harga tinggi pada saat syarat belum terpenuhi. Lalu, mendapatkan persetujuan dari saudara SDS untuk impor minyak mentah dan dari tersangka RS untuk produk kilang.

Sementara itu, dalam pengadaan produk kilang yang dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian atau pembayaran untuk RON 92. Padahal, sebenarnya yang dibeli adalah RON 90 atau lebih rendah. Kemudian, dilakukan blending di depo untuk menjadi RON 92. Hal tersebut tidak diperbolehkan atau bertentangan dengan ketentuan yang ada.

Selanjutnya, saat dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh fakta adanya markup kontrak shipping atau pengiriman yang dilakukan oleh tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping. Sehingga, negara mengeluarkan fee sebesar 13-15% secara melawan hukum.

“Sehingga, tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut,” ucap Qohar.

Ia melanjutkan saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh oleh produk impor secara melawan hukum, komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan harga indeks pasar, bahan bakar minyak untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal atau lebih tinggi.

“Sehingga, dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi bahan bakar minyak setiap tahun melalui APBN,” pungkas Qohar. (***)

Exit mobile version