Telisik Tom Lembong Terbitkan Persetujuan Impor Gula Kepada PT Angels Product Milik Tommy Winata

Redaksi

JAKARTA – Penyidikan kasus dugaan korupsi impor gula tidak hanya menargetkan tersangka eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong. Namun eks Mendag setelah Tom Lembong tak menutup kemungkinan akan diperiksa sebagai saksi dan dinaikan statusnya sebagai tersangka.

Pasalnya periode impor gula mulai dari 2015 hingga 2023. Dalam periode tersebut, apakah ada perbuatan pelanggaran hukum yang menyebabkan negara mengalami kerugian akibat kebijakan impor gula tersebut.

Sebab adanya pandangan di publik bahwa perkara korupsi impor gula yang menjerat Tom Lembong sebagai kasus politik didasari argumen mengapa hanya Tom Lembong yang disasar penyidik Kejaksaan Agung. Padahal Menteri Perdagangan sesudah Tom Lembong juga melakukan impor gula? Bahkan jumlahnya lebih banyak dari pada Tom Lembong.

Berdasarkan informasi yang dihimpun dalam penelusuran bahwa penyidikan tidak hanya menargetkan Tom Lembong semata karena penyidikan dugaan tindak pidana korupsi importasi gula Kemendag RI periode 2015-2023.

“Artinya tak menutup kemungkinan pelaku lain akan menjadi tersangka jika ada pelanggaran hukum dalam persetujuan impor gula,” kata sumber penyidik Kejagung dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Senin (25/11).

Bahkan publik mengabaikan fakta soal beberapa kali pertemuan antara perusahaan BUMN PT PPI dengan 8 importir di Gedung Equity Tower SCBD mendahului persetujuan impor gula yang dikeluarkan Menteri Perdagangan (Mendag). Kemudian permasalahan soal kecukupan stok gula dan surplus gula pada 2015 saat Tom Lembong menjabat Menteri Perdagangan.

Selain itu, masalah penetapan tersangka terhadap Tom Lembong bukan karena besar kecilnya volume persetujuan impor gula yang diputuskan. Tapi apakah persetujuan impor yang dikeluarkan itu melanggar aturan hukum atau tidaknya.

Menurutnya, dalam kasus dugaan korupsi yang menjerat Tom Lembong, pada 2015 ia membuat keputusan memberikan persetujuan impor gula kepada perusahaan swasta bernama PT AP (Angels Product) pada 12 Oktober 2015 saat stok gula nasional mencukupi kebutuhan di dalam negeri, hal tersebut berdasarkan kesimpulan rapat koordinasi (Rakor) kabinet pada Mei 2015.

PT AP berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan impor bukan sebanyak 105 ribu ton, setelah adanya surat persetujuan impor yang dikeluarkan oleh eks Mendag Tom Lembong.

“Artinya keputusan Tom Lembong jelas menyelisihi atau menyalahi keputusan rakor kabinet tersebut,” ujar sumber penyidik Kejagung.

Bahkan tak hanya itu, soal adanya pertemuan sebanyak 4 kali PT PPI atas perintah tersangka Charles Sitorus (CS) dengan 8 perusahaan swasta di Equity Tower SCBD pada November-Desember 2015 terkait rencana impor gula pada 2016.

Dalam pertemuan itu ada permufakatan jahat atau persekongkolan antara PT PPI yang merupakan perusahaan BUMN dengan 8 perusahaan swasta, salah satunya PT AP. Dimana seakan-akan PT PPI membeli gula kristal putih (GKP) hasil olahan Gula Kristal Mentah (GKM) yang diimpor oleh 8 perusahaan swasta tersebut.

Artinya PT PPI tidak melakukan impor gula, tapi 8 perusahaan swasta setelah Tom Lembong menerbitkan surat persetujuan impor.

“Padahal PT PPI hanya mengambil fee dari 8 perusahasn swasta dan menyerahkan distribusi gula kepada 8 perusahaan swasta melalui jaringan distribusi yang terafiliasi dengan 8 perusahaan swasta tersebut,” paparnya.

Dengan demikian, persekongkolan jahat yang dilakukan tersangka CS dan 8 perusahaan swasta sebagai importir gula tersebut kemudian diwujudkan oleh Tom Lembong yang ketika itu menjabat Mendag RI dengan memberikan atau menerbitkan persetujuan impor gula pada 2016 kepada 8 perusahaan swasta tersebut.

Lantas apakah Tom Lembong mengetahui atau tidak pertemuan di Gedung Equity Tower SCBD pada November-Desember 2015 tersebut. Sehingga bila ia mengetahui, maka tentu bisa diduga adanya ‘mens rea’ atau niat jahat Tom Lembong saat memberikan persetujuan impor pada 2016 kepada 8 importir perusahaan swasta tersebut.

Atas dasar hal tersebut, karena distribusi gula impor dilakukan jaringan yang diduga terafiliasi dengan 8 perusahaan swasta tersebut, maka rantai tata niaga atau penjualan gula menjadi panjang hingga harga jual terlalu mahal yang sampai ke konsumen sebesar Rp 18 ribu sampai Rp 20 ribu perkilogram.

Harga tersebut jauh melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu Rp 12.000 setiap kilogram.

Kendati demikian, kebijakan impor gula kristal mentah kemudian diolah menjadi gula kristal putih sebenarnya baik jika kebijakan impor tersebut dilaksanakan dengan benar. Maka harga konsumsi di masyarakat untuk 1 kg gula kristal putih sekitar Rp11 ribu perkilogram.

Namun karena kuota impor gula diberikan kepada jaringan yang terafiliasi dengan 8 perusahaan swasta, maka tetap saja harga gula kristal putih di masyarakat mencapai Rp 18 ribu sampai Rp20 ribu perkilogram.

Selain itu, kesalahan Tom Lembong yang lain adalah memberikan kuota impor gula kepada perusahaan swasta, padahal aturan mengharuskan pelaksanaan impor gula dilakukan oleh perusahaan BUMN.

Mengapa BUMN yang hanya diizinkan melakukan impor gula, karena hanya harga produk BUMN yang bisa dikendalikan pemerintah sesuai HET.

Sebelumnya diberitakan, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, Harli Siregar mengatakan bahwa penyidik Jampidsus Kejagung memilih untuk fokus pada tempus korupsi izin impor gula pada era Tom Lembong. Mereka enggan untuk membuat penyelidikan atau penyidikan paralel dengan era Mendag lainnya.

“Kita tengah fokus terhadap penanganan perkara yang sekarang sedang bergulir ya,” ucap Harli pada Kamis (7/11/2024).

(***)