JAKARTA – Skandal dugaan korupsi proyek Technopark yang digarap PT Hutama Karya (Persero) 2018-2020, tengah mendapat sorotan publik. Pasalnya, kasus ini terbilang besar, lantaran potensi kerugian negara yang mencapai angka Rp1,2 triliun.
Kasus ini mencuat usai Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jakarta melakukan penggeledahan di Gedung Cyber 1 Kuningan, tempat diduga jadi pusat aktivitas dugaan kemelut tersebut.
Awal Mula Kasus Technopark
Berdasarkan data yang dihimpun dari salinan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis (11/9/2024), kasus ini bermula dari proyek pengembangan Technopark yang digagas oleh PT Hutama Karya pada tahun 2018-2020.
PT Hutama Karya diketahui melakukan pembelian lahan dari PT Azbindo Nusantara dan PT Cempaka Surya Kencana (CSK). Kedua alamat perusahaan baik PT Azbindo Nusantara dan PT CSK, tercatat berkedudukan di Gedung Cyber Kuningan.
Dalam salinan tersebut, ada dua nama yang ikut mencuat dalam kasus ini, yakni Aziz Mochdar, selaku pemegang saham PT Azbindo Nusantara, bersama Mahdi Hidayatullah, Direktur PT CSK.
Menurut PT Hutama Karya, ide pengembangan Technopark diketahui kian intensif usai adanya penawaran lahan dari Mahdi Hidayatullah. Di mana lahan Technopark yang akan dibangun, yakni seluas 49.957 m2.
Proyek ini direncanakan untuk menjadi salah satu pusat perkantoran di segitiga emas Jakarta. Tetapi belakangan, berujung pada indikasi korupsi yang melibatkan sejumlah pihak.
Asal Mula Perselisihan
Perjanjian kesepakatan awal yang melibatkan PT Hutama Karya, PT Azbindo Nusantara, PT CSK, dan Aziz Mochdar, tercatat menjadi titik awal permasalahan ini. Perjanjian berisi skema transaksi.
Pihak penjual, tercatat meminta uang komitmen awal transaksi sebesar Rp200 miliar. Padahal, uang komitmen itu –di awal perjanjian– baru akan diberikan jika pihak penjual sudah bisa membuktikan surat ‘clearance’ dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) atas aset tanah yang dijual.
Namun, belakangan pihak penjual tetap meminta uang komitmen agar dibayar lebih awal, sebagai syarat dimulainya uji tuntas alias proses clearance dilakukan. Uang itu ternyata justru digunakan oleh PT CSK untuk melunasi utang ke Bank Artha Graha terkait pembelian objek tanah.
Seiring waktu, di awal 2019, ada perubahan skema transaksi. Dari yang awalnya skema pengembangan objek tanah, menjadi pengambilalihan 55 persen saham CSK.
Akan tetapi, lagi-lagi hal ini juga menambah daftar kejanggalan dalam perjanjian, karena dianggap menggunakan syarat-syarat yang tak lazim dalam sebuah praktik bisnis dan dianggap merugikan perusahaan PT Hutama Karya.
Prahara Skema Transaksi
Dalam perjanjian kesepakatan awal, terdapat perubahan skema transaksi dari pengembangan tanah menjadi pengambilalihan saham.
Di mana, PT HK Realtindo –perusahaan afiliasi PT Hutama Karya (Persero)– diwajibkan membayar uang komitmen dengan imbalan 55 persen saham CSK yang akhirnya digadaikan kembali kepada PT CSK.
Terlebih, jaminan atas 55 persen saham CSK tersebut baru akan dilepaskan setelah PT HK Realtindo memberi pinjaman Rp1 triliun kepada PT CSK. Padahal jumlah modal disetor dan ditempatkan PT CSK pada saat itu, hanya Rp330 miliar, didasarkan laporan audit yang terlampir dalam BAK Transaksi.
Transaksi semakin janggal usai adanya pasal perjanjian penyertaan modal, di mana diatur bahwa Aziz Mochdar selaku salah satu pemegang saham 3,42 persen dari PT CSK, akan menjadi pengendali perusahaan itu.
“Ketentuan Pasal 7 Perjanjian Penyertaan Modal tersebut jelas menunjukkan tipu daya dan itikad buruk para penggugat dengan memanfaatkan posisi lemah. Bagaimana mungkin Aziz Mochdar dinyatakan sebagai pengendali dari PT CSK dengan hanya memiliki 3,42 persen saham CSK. Sedangkan PT HK Realtindo memiliki 55 peren saham CSK, tidak dianggap sebagai pengendali,” sebut PT HK Realtindo dalam keberatannya.
PT CSK ketika itu lalu menyebut, bahwa pinjaman Rp1 triliun tersebut bukan pinjaman, tapi bantuan dari PT HK Realtindo untuk melakukan pembayaran pajak capital gain. PT HK Realtindo lantas merasa ditipu atas transaksi ini. Terlebih, segala pajak dan biaya transaksi disebut merupakan kewajiban dari PT Azbindo Nusantara.
Apalagi, kendati PT HK Realtindo telah memberi pinjaman Rp1 triliun, perusahaan pelat merah milik negara ini masih belum menjadi pemilik 55 persen saham CSK, sebagaimana dijanjikan oleh mereka.
Kondisi Lahan Tidak Clear
Selain itu, obyek tanah rencana Technopark yang diklaim bebas sengketa, belakangan ternyata masih bermasalah.
Keadaan tanah yang tidak clean and clear ini menjadi salah satu alasan kuat kenapa perjanjian tersebut dianggap tidak adil dan menyesatkan.
Laporan BPKP Ungkap Keanehan
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan audit investigatif terhadap transaksi tersebut. Hasil audit menyimpulkan adanya potensi kerugian yang besar, termasuk utang Rp1 triliun yang tidak tertagih dan masalah hukum terkait tanah.
Laporan Hasil Audit Investigasi (LHAI), menyebut, pada pokoknya diarahkan bahwa transaksi pengambilalihan 55 persen saham PT CSK tidak dilanjutkan karena terdapat risiko kerugian akibat pengambilalihan 55 persen saham CSK yang tidak memberi manfaat ekonomi di masa depan. Lalu terdapat potensi tidak tertagihnya utang Rp1 triliun dari PT CSK. Serta sebagian dari objek tanah ternyata memiliki potensi masalah hukum.
Adanya LHAI BPKP tersebut, dinilai semakin memperkuat, bahwa seluruh perjanjian-perjanjian transaksi pengambilalihan 55 persen saham CSK perlu dibatalkan, karena adanya tipu muslihat dan penyalahgunaan keadaan yang dilakukan oleh pihak penjual.
Aziz Mochdar, salah satu nama yang disebut dalam kasus ini, disebut-sebut menjadi pihak yang diuntungkan dari transaksi tersebut. Dia, diduga berhasil memperoleh keuntungan sebesar Rp3,2 triliun melalui skema ini.
Putusan PN Jaktim
Pasca upaya pembatalan transaksi, PT Azbindo Nusantara, PT CSK, dan Aziz Mochdar, kemudian menggugat PT Hutama Karya ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
PN Jaktim kemudian memutuskan bahwa PT Hutama Karya dan PT HK Realtindo melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum kedua perusahaan milik negara itu secara tanggung renteng, untuk membayar ganti rugi materil sebesar Rp8,35 triliun dan imateril sebesar Rp3,13 triliun, atau total Rp11,47 triliun.
Pengadilan juga menyita beberapa aset sebagai jaminan, termasuk saham PT CSK dan properti terkait.
Terkait hal ini, Direktur Utama PT Hutama Karya Budi Harto mengatakan, pihaknya akan mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
“Kami menghormati putusan pengadilan, namun kami perlu untuk melakukan banding agar seluruh fakta dapat dipertimbangkan lebih lanjut,” ujar Budi Harto dalam keterangannya di keterbukaan informasi di laman BEI.
Putusan ini, dikatakan Budi, berpotensi berdampak signifikan terhadap kondisi keuangan dan kelangsungan usaha PT Hutama Karya. Perusahaan dikatakan bakal terus mengambil langkah hukum yang diperlukan untuk melindungi kepentingan dan keberlanjutan bisnisnya.
Penggeledahan Gedung Cyber 1
Pada 6 September 2024, Kejati Jakarta melakukan penggeledahan di sejumlah tempat terkait kasus ini, salah satunya, di Gedung Cyber, Mampang, Kuningan, lantai 11.
Diketahui, penggeledahan tersebut sebagai buntut dari upaya pencarian bukti, pasca Pengadilan Negeri Jakarta Timur, memutus menolak rekovensi PT Hutama Karya, yang menimbulkan potensi kerugian besar bagi negara sebesar Rp11,47 triliun.
Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Jakarta Syahron Hasibuan mengatakan, penggeledahan ini sesuai dengan instruksi Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Daerah Khusus Jakarta Nomor PRINT- 3521/M.1/Fd.1/08/2024 Tanggal 28 Agustus 2024.
Penggeledahan dilakukan untuk mengumpulkan bukti-bukti terkait skema korupsi yang melibatkan pihak-pihak penjual dan pembeli dalam proyek Technopark.
Selama penggeledahan, Kejati menyita beberapa unit laptop, PC, dan dokumen penting yang akan dianalisis untuk memperkuat bukti. “Turut disita beberapa dokumen dan berkas penting lainnya guna membuat terang peristiwa pidana dan penyempurnaan alat bukti dalam perkara a quo,” kata Syahron.
Barang-barang ini diharapkan dapat memberikan gambaran lebih jelas mengenai kasus tersebut.
PT HK Realtindo dianggap sebagai pihak yang paling dirugikan dalam transaksi ini. Selain kehilangan kontrol atas saham yang dimiliki, mereka juga tidak mendapatkan keuntungan apapun dari transaksi tersebut.
Hingga kini belum ada tersangka dalam kasus tersebut. Akan tetapi, pengusutan kasus ini, terbilang besar melihat potensi kerugian negara yang mencapai angka triliunan rupiah.
(***)