Surabaya, FAJARPOS.com – Konflik Pasar Turi yang semakin carut-marut dan tak kunjung menemukan titik terang, menyebabkan pedagang kian meradang. Banyak dari mereka yang memilih gulung tikar guna mencari usaha lain, atau bahkan berhenti sama sekali dari dunia bisnis karena bangkrut.
Salah satu eks pedagang Pasar Turi bidang konveksi, Akbar Maghrobi mengatakan, dia kini sudah menjadi seorang sopir. Hal ini dikarenakan pengelolaan Pasar Turi yang tidak jelas.
“Biasanya saya dan ibu yang menjaga stan. Tapi karena semakin sepi, saya jadi sopir dan ibu yang jaga sendiri,” tutur pria yang lebih akrab disapa Robi ini, Selasa (4/9/2018).
Dia juga mengaku telah memiliki stan di dalam gedung Pasar Turi Baru. Namun, dia tinggalkan stan yang telah dibeli itu disebabkan pengunjung selalu sepi. Tentu hal ini dia lakukan dengan berat hati. Pun dia pernah mencoba berjualan di Tempat Penampungan Sementara (TPS). Hasilnya, sama saja. Sepi.
“Ternyata sama saja. Di TPS pun juga sepi. Hampir tiap hari itu tidak ada pembeli baru. Yang beli itu tinggal pelanggan lama saja,” kata Robi.
Akhirnya, dia dihadapkan pada dua pilihan: tetap di Pasar Turi dengan situasi yang semrawut, atau meninggalkan itu semua dengan mencari usaha baru. Pria 28 tahun ini memilih yang kedua. Dia memulai dari distributor air mineral kemasan. Namun, tidak bertahan lama. Kemudian berganti menjadi sopir di salah satu perusahaan di Pasuruan. Profesi ini ia jalani hingga kini.
Kebutuhan keluarga yang harus ditutupi, membuatnya harus segera membenahi keadaan ekonominya. Hal ini pula lah yang menjadi alasan Robi untuk menekuni profesinya yang sekarang, yang menurutnya terbilang cukup berat.
“Berat memang (jadi sopir). Harus kuat melek. Saya juga harus pergi-pulang Surabaya-Pasuruan tiap hari. Tapi ya bagaimana lagi, hidup harus tetap berlanjut,” tutur Pria yang tengah menabung untuk biaya pernikahannya ini.
Robi mengaku, masih banyak pedagang lain yang juga senasib dengannya. Meski mereka telah memiliki stan di dalam gedung, mereka lebih memilih berjualan di TPS karena dianggap lebih ramai.
Dengan masyarakat banyak sebagai pertimbangan, Robi berharap kisruh soal pengeloaan pasar tidak berlarut-larut dan segera diselesaikan. Sebab, jika perkara ini tidak kunjung diselesaikan, adalah masyarakat Surabaya dan seluruh pedagang yang menjadi pihak paling dirugikan.
Berbeda dengan Robi, Yudia (47), kini hanya bisa menjalani nasibnya sebagai ibu rumah tangga. Ia tak bisa lagi berharap pada penghasilannya berdagang di stan Pasar Turi. Sementara untuk membuka usaha di tempat lain, dirasa kurang tepat dengan tidak adanya modal.
“Mau lamar juga bingung kerja apa. akhinrnya ya begini nganggur, paling ngurus rumah,” jelasnya.
Ibu dua anak yang selama ini jadi tumpuan ekonomi keluarga itu tak menyangka, Pasar Turi yang dulu sangat ramai dan menjadi pusat grosir terbesar di kawasan Indonesia Timur, berubah drastis hanya dengan sekali sentak. Megahnya gedung baru yang dibangun pasca kebakaran tahun 2007 tak cukup memulihkan gairah jual—beli antara pedagang dan pengunjung.
“Sehari laku satu sudah syukur. Saya gak bisa ngarep dari situ lalgi,” kata Yudia.
Dulu, dia menjadi salah satu pedagang grosir dan eceran yang awalnya punya harapan besar terhadap Pasar Turi Baru. Sedikit pun dia tak pernah membayangkan situasi pasar akan seperti sekarang.
Sebagai tambahan informasi, konflik seputar pengelolaan Pasar Turi hingga kini belum usai. Konflik yang melibatkan sejumlah pihak terutama antara Pemkot Surabaya dengan pengembang yang membuat, antara lain, izin operasional Pasar Turi belum dikeluarkan dan revitalisasi pasar terhambat. (FNI)