Fajarpos.com, Tangsel – Pemerintah berencana mengkaji persyaratan program bantuan motor listrik karena minim diminati masyarakat.
Rencana kajian tersebut diungkapkan oleh Kepala Staff Kepresidenan Moeldoko beberapa waktu lalu. Untuk dipahami, syarat penerima program bantuan motor listrik adalah sekelompok masyarakat yang terverifikasi dengan memiliki NIK yang terdaftar sebagai penerima manfaat kredit usaha rakyat, bantuan produktif usaha mikro, bantuan subsidi upah, dan/atau penerima subsidi listrik hingga 900 VA. Ini berarti masyarakat rendah atau berpenghasilan rendah.
Lantas apa yang menyebabkan program tersebut malah sepi peminatnya?
Kepala Pelaksana Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal menyatakan sebenarnya skema bantuan itu ditujukan bagi warga kurang mampu atau tergolong dalam kategori miskin. Namun, dalam konteks pembelian kendaraan listrik, warga miskin dianggap tidak terlalu tertarik untuk membeli kendaraan listrik.
“Kalau penerimanya penerima bansos yang miskin itu, karena tidak kecukupan daya beli mereka. Apa lagi motor listrik yang sudah disubsidi itu bisa jadi dia tetap lebih mahal,” katanya kepada detikcom, Sabtu (15/7/2023).
Artinya, menurut dia tidak ada kecocokan antara kemampuan daya beli masyarakat yang menjadi sasaran program itu dengan harapan untuk menjadikan konsumen tersebut pembeli motor listrik.
“Jadi kalau kalangan miskin itu di sini mereka sangat-sangat sensitif dengan harga. Artinya dengan motor konvensional saja masih kesulitan untuk membeli, (apa lagi) kalau motor listriknya lebih mahal,” terangnya.
Masalah lainnya adalah infrastruktur penunjang mobilitas motor listrik itu sendiri. Menurut Faisal tempat penukaran batre motor listrik saat ini belum meluas terutama di sekitar tempat tinggal masyarakat kelas bawah.
“Mereka kan punya mobilitas yang rendah, kalau infrastruktur susah dijangkau itu kan menyulitkan. Berbeda dengan kalangan menengah atas yang relatif bisa menjangkau,” katanya.
“Kalau kita mempertimbangkan infrastruktur sementara penerima bansos banyak di pedesaan. Karena kantong kemiskinan banyak di pedesaan,” lanjutnya.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad mengatakan masyarakat miskin itu jarang sekali berpikir untuk membeli motor baru. Program ini sepi peminat karena minat masyarakat yang disasar itu rendah akan pembelian motor, apa lagi jika masih tergolong mahal.
“Kebiasaan masyarakat miskin itu ambilnya yang bekas konvensional. Kalau didorong beli baru menurut saya berat bagi mereka. Mereka kan juga bayarnya juga cash. Kalau bentuknya cash berat bagi mereka, memang udah ada potongan Rp 7 juta, motor listrik saat ini itu kalau high quality agak mahal sudah belasan juta,” katanya.
Masalah kedua rendahnya literasi masyarakat akan program subsidi motor listirk. Tauhid mengatakan masyarakat kelas bawah belum semuanya paham akan manfaat motor listrik itu sendiri. Apa lagi, biasanya mereka hanya lebih mengetahui merek-merek motor konvensional yang terkenal.
Kemudian, infrastruktur penunjang motor listrik juga belum meluas. Kendala yang akan dihadapi masyarakat adalah ketika motor tersebut perlu service atau rusak dan harus menukar baterai.
“Bagi masyarakat miskin dia mau service misalnya rusak tetapi pusat sevice jauh, siapa yg mau beli begitu. Atau tadi mengenai pengisian baterai-nya juga susah diperoleh,” pungkasnya.